Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tinggi dalam 30 tahun terakhir tidak serta merta memberikan kesejahteraan yang menyeluruh kepada rakyatnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak saja identik dengan naiknya pendapatan dan kemiskinan yang berkurang, tetapi juga menyisakan banyak masalah. Ini yang membuat Tiongkok sadar dan tidak akan melanjutlkan pola pembangunan yang selalu mengandalkan sektor manufaktur dan bertujuan ekspor.
Pada tahun 2013, Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa Tiongkok harus meniti jalur pertumbuhan yang normal. Hal ini dikarenakan adanya masalah ketimpangan pendapatan yang membahayakan fabrikasi sosial dan adanya kesenjangan antar wilayah.
Pada bulan Juni 2015, The Centre for Climate Change Economics and Policy (CCCEP), sebuah lembaga yang didirikan oleh University of Leeds bersama The London School of Economics and Political Science, menulis tentang polusi akut telah terjadi di Tiongkok.
Investasi di Tiongkok telah menaikkan konsumsi batubara penduduk dan industri berat selama bertahun-tahun. Polusi merusak pedesaan sekaligus mendorong urbanisasi yang merugikan (Bank Dunia 2014). Polusi di Tiongkok telah menyebabkan kematian prematur bagi 1,23 juta warga pada tahun 2011. Kerugian secara ekonomi meningkat akibat dari kesehatan warga yang memburuk dan kini menelan biaya 9,7 - 13,1 persen dari total nilai nominal produk domestik bruto (PDB) yang pada tahun 2014 mencapai 10,35 triliun dollar Amerika. Disini terlihat pertumbuhan yang tinggi tetapi banyak biaya yang terbuang sia-sia.
Tuntutan kenaikan upah, perbaikan keahlian pekerja, dan penurunan pertumbuhan di pasar ekspor telah menguatkan Pemerintah Tiongkok untuk menurunkan laju investasi yang otomatis menurunkan pertumbuhan. Presiden Xi Jinping menjuluki pola pertumbuhan ekonomi tersebut dengan "tidak seimbang, tidak terkoordinasi, dan tidak berkesinambungan".
Jumlah penduduk sebanyak 1,35 milyar jiwa yang mayoritas berusia muda dan menyebabkan perekonomian tumbuh ke depan juga sudah menua. Pemerintah Tiongkok memprediksi, perekonomian dengan basis produksi semata tidak bisa berlanjut untuk 10-20 tahun ke depan.
Belajar dari Jepang
Kesimpulan dari uraian diatas adalah perekonomian yang mengutamakan kualitas, sektor non-manufaktur (non-pabrik), dan inovasi harus menjadi visi sejak awal. Tiongkok telah belajar dari kegagalan Jepang yang didominasi basis manufaktur. Ini semua menyebabkan perekonomian Tiongkok menurun dari segi pertumbuhannya.Dominasi perusahaan-perusahaan milik negara juga dianggap telah mematikan inovasi teknologi dan bisnis swasta. Perburuan keuntungan ekonomi di Tiongkok lewat pembangunan properti karena faktor aji mumpung (moral hazard) tidak bisa dibiarkan.
Faktor kerakusan demi untung sesaat yang mendominasikegiatan ekonomi juga harus diubah. Pembangunan properti tidak lagi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Hanya saja penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah menyebabkan kepanikan pasar. Indeks-indeks saham Tiongkok terus berjatuhan dan memberi efek domino psikologi ke seluruh dunia. Sepertinya pasar hanya terus ingin Tiongkok untuk memberi mereka keuntungan demi keuntungan, dan tidak peduli pada perubahan paradigma pembangunan ekonomi.
Gambaran ekonomi di Tiongkok hanyalah penurunan pertumbuhan, bukan kontraksi. Ke depan, warga kelas menengah Tiongkok akan lebih dari 600 juta jiwa. Menurut Fen Sung dari LGBR Capital, pada november 2015, jumlah warga kelas menengah di Tiongkok ini melebihi daya beli warga kelas menengah AS dan Jepang.
Dengan demikian, tidak kekhawatiran yang berlebihan mengenai kejatuhan indeks saham karena warga Tiongkok yang membelanjakan uang untuk investasi di bursa hanya menggunakan kurang dari 15 persen dari kekayaan mereka.
Kejatuhan indeks saham Tiongkok tidak menghilangkan daya beli warga Tiongkok dan negara ini sedang tidak dalam masalah besar, hanya sedang menuju pertumbuhan ekonomi yang normal saja.
EmoticonEmoticon