Seburuk apapun mertua, aku selalu ingat bahwa dia adalah wanita yang mengandung suamiku dalam kepayahan selama 9 bulan.
Dia adalah wanita yang air susunya menjadi makanan pertama bagi suamiku.
Dia ialah wanita yang mendidik dan membesarkan suamiku,
yang mengajarkan kepada suamiku akhlak sehingga aku nyaman di sisi suamiku.
Aku tak pernah keluar uang sepeserpun untuk menyekolahkan suamiku hingga ia dapat ijazah, yang sekarang ijazah itu ia gunakan untuk mencari nafkah dalam menafkahiku.
Aku tak sedikit pun mendidik suamiku hingga kini ia menjadi pria yang penuh tanggung jawab dan
aku merasakan bahagia menjadi istrinya.
Setelah pengorbanan ibunya yang bertubi tubi…
Anak laki lakinya menikah denganku dan kini jadi suamiku.
Dia bagi kasih sayang anaknya denganku.
Cemburu ? Pasti dia cemburu.
Aku wanita asing, yang kini selalu disayang-sayang oleh anak laki lakinya.
Harta anak laki-lakinya tercurah untuk kunikmati padahal Ia yang melahirkan, membesarkan dan mendidik.
Aku memahami cemburu itu walau aku pun merasakan cemburu ketika suamiku lebih memihak mertuaku.
Aku bukan malaikat yang tak pernah jengkel dengan mertuaku dan mertuaku pun bukan malaikat yang selalu kubela..
Adakalanya aku marah, cemburu dan sakit hati.
Namun aku ingat semua jasanya pada suamiku..
Jasa yang sampai akhir hayatpun aku tak akan mampu membayarnya..
Pada ujung tangisku...
Terngiang nasihat ibundaku tercinta...
”Nak.. dukunglah suamimu untuk berbakti pada ibunya.
Jangan suruh ia memilih antara kau dan ibunya karena kelak kau akan merasakan bagaimana sakitnya diperlakukan seperti itu oleh anak laki lakimu.
Apa yang kau lakukan pada mertuamu akan dilakukan pula oleh menantumu..
Segala sesuatu pasti ada timbal baliknya”.
Dan tangisku makin deras...
Suamiku, bahagiakanlah orang tuamu semampumu.
Semoga kelak anak anak kita pun membahagiakan kita, sebagai balasan baktimu pada orang tuamu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
“…dan hendaklah kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu” (QS. Luqman:14).
Begitu penting berbuat baik dan berterima kasih kepada kedua orang tua kita, sampai Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam bersabda, “Ridha Allah terdapat pada keridhaan orang tua. Dan murka Allah terdapat pada kemurkaan orang tua”
๐ (HR. Turmudzi).
Diriwayatkan bahwa Aisyah Radhiallahu anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam ”Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita ?”
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam menjawab, “Suaminya” (apabila sudah menikah).
Aisyah Radhiallahu anhu bertanya lagi, ”Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki ?”
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam menjawab, “Ibunya”
๐ (HR. Muslim).
``` (Ketahuilah) setiap hembusan nafas akan mengurangi sebagian dari dirimu, seluruh usia kita betapa singkatnya dan yang tersisa hanya sebagian kecil saja```
```Karena sesungguhnya, dengan hidup yang singkat inilah bisa menyebabkan kita kekal abadi di dalam kenikmatan, atau kekal abadi di dalam siksa yang memilukan```
```Apabila kau bandingkan kehidupan yang singkat ini dengan kekekalan abadi (di akhirat), niscaya kau ketahui bahwa setiap hembusan nafasmu itu bernilai lebih dari beribu ribu tahun di dalam kenikmatan yang tidak pernah terlintas di benak, atau sebaliknya (di dalam siksa pedih). Demikianlah keadaannya, betapa usia itu tidak ternilai... ```
```Untuk itulah, janganlah sekali-kali kau menyia-nyiakan usiamu yang berharga ini tanpa amalan, dan jangan sampai usiamu berlalu tanpa ada gantinya``` (dengan yang lebih baik, pent)...
```Lantas, bagaimana kau masih bisa menyia-nyiakan waktumu? dan bagaimana bisa dirimu tidak merasa sedih atas hilangnya usiamu yang tidak tergantikan??```
๐_Ghodzรข'ul Albรขb Syarh Manzhรปmah al-รdab_ (II/351)
✏@abinyasalma
Syeikh Ali Jaber meluruskan beberapa pemahaman yang keliru tentang tata cara pelaksanaan ibadah Qurban.
1. JUMLAH DAN ATAS NAMA QURBAN
Ada pemahaman yang berkembang di masyarakat, satu orang wajib berkurban dengan satu ekor kambing. Apabila dalam sebuah keluarga ada lima orang anak, maka menjadi genap tujuh orang sehingga wajib berkurban dengan 1 ekor sapi (konversi dari 7 ekor kambing). Jika tidak mampu, maka bisa berqurban dengan kambing dahulu, misal tahun ini mampu 1 ekor kambing atas nama istri, tahun depan atas nama anak, demikian seterusnya hingga seluruh anggota keluarga sudah dijatah per 1 ekor kambing.
"Ini hal keliru! Qurban berbeda dengan Aqiqah dan Zakat Fitrah yang dihitung perorang. Qurban hitungannya perkeluarga bukan perorang. Ketika nabi Ibrahim AS hendak sembelih Ismail, diganti dengan 1 ekor kambing oleh Allah SWT, padahal Ibrahim beserta 2 istri dan 2 anak harusnya lima ekor. Demikian juga Nabi Muhammad SAW, berkurban dengan 2 kambing. Pada kambing pertama beliau berkata 'Bismillah atas nama Muhammad dan keluarga Muhammad'. Lalu pada kambing kedua beliau berkata 'Atas namaku dan ummatku'. Padahal berapa jumlah istri dan anak serta umat beliau?" kata Syeikh Ali menjelaskan.
"Kewajiban itu tidak lebih dari 1 ekor kambing. Jika mampu 1 sapi atau 1000 sapi silahkan, karena tidak ada larangan atas kemampuan. Misalnya seorang bapak dengan seorang anak berqurban dengan 1 kambing, sah. Dengan 1 sapi silahkan. Seorang bapak dengan 4 orang istri dan masing-masing 10 orang anak hendak berqurban, wajib dengan 1 kambing saja untuk 45 orang sekeluarga. Jika mampu 1000 kambing atau 1000 sapi, boleh, silahkan," lanjutnya.
Tentang nama-nama yang disebut saat penyembelihan, Syeikh Ali mengatakan tidak ada kewajiban atas hal tersebut. Karena hakikatnya menyebut atas nama keluarga sudah mencakup seluruh anggota keluarga termasuk orang tua yang sudah meninggal dunia.
"Bismillah atas namaku dan keluarga. Tidak perlu membawa nama-nama. Atas namaku dan keluarga sudah termasuk orang tua yang meninggal. Ada sebagian ulama membolehkan, kalau kita mampu dan mau khusus, kambing atas nama orang tua, tidak masalah. Kalau tidak mampu, maka 1 ekor sudah termasuk keluarga dan orang tua kita. Ini adalah salah satu sedekah yang berguna bagi orang tua yang meninggal di keluarga kita," katanya.
2. MAKAN DAGING QURBAN
Sebagian besar masyakarat tidak mau memakan daging qurban dengan alasan ingin disedekahkan semua untuk fakir miskin.
"Padahal ini adalah sunnah Rasul seperti dalam aqiqah. Rasulullah membagi qurban menjadi tiga, pertama dihadiahkan kepada orang kaya untuk silaturrahim, kedua disedekahkan untuk orang miskin, dan yang ketiga untuk diri sendiri. Bahkan Rasulullah SAW sebelum shalat 'Ied berpuasa, lalu membatalkannya sesudah shalat dari hasil sembelihan hewan qurban," kata Syeikh Ali.
Beliau menekankan bahwa daging qurban yang ingin disedekahkan semua tidak masalah, namun mengajak jamaah agar sesekali menghidupkan sunnah Rasul dengan memakan daging qurban.
3. PEMBAYARAN DENGAN KULIT DAN KEPALA
Persoalan ketiga yang beliau sorot adalah maraknya pembayaran ongkos penyembelihan hewan qurban dengan kulit dan kepala, padahal tidak dibenarkan.
"Tidak boleh pembayaran hasil sembelihan dari kulitnya. Banyak tukang sembelih datang, ketika kita tawarkan untuk sembelih dan tanya berapa, 'ndak papa kasi aja kulitnya sama kepalanya'. Jangan anda setuju dan terima," kata beliau menegaskan.
"Qurban itu lillahi ta'ala bukan jual beli. Kalau sudah dijual berarti bukan qurban karena tidak lillahi ta'ala," tambahnya.
Beliau memberikan jalan keluar dengan terlebih dahulu menjelaskan akad awal dengan tukang sembelih terutama berapa ongkos atau biaya yang diminta. Sedangkan kulit dan kepala bisa diberikan sebagai hadiah.
"Ijab kabul. Tentukan, misal ongkos sembelihan 50 ribu. Jika setuju, selesai! Jika sesudah penyembelihan kita berikan ongkosnya dan tambahkan kulit dan kepala sebagai hadiah, tidak masalah. Tetapi bukan untuk bayar sembelihan. Jadi harus dibedakan," kata beliau.
Beliau juga menegaskan bahwa amalan ibadah qurban bisa tidak diterima Allah, jika sebagian dari hasil sembelihan dijadikan pembayaran atau ongkos.
(Syeikh Ali Saleh Muhammad Ali Jaber, adalah salah seorang Imam di Mesjid Nabawi, Madinah. Beliau menyelesaikan 30 juz hafalan Al-Qur'an pada usia 11 tahun di Madinah. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan mengaji kepada para Syeikh di Mesjid Nabawi.)
TOLONG BACA INI. Ternyata Hidup Membujang Itu Dilarang Agama
Membangun sebuah rumah tangga bagi sebagian orang bukanlah perkara mudah. Ketika sudah menikah nanti, seseorang sudah harus bertanggungjawab penuh terhadap pasangannya. Tidak lagi memikirkan diri sendiri, namun juga orang yang menjadi pendampingnya kelak. Bagi banyak kalangan, hal ini tentu bukan masalah. Namun sebagian banyak yang beranggapan bahwa kehidupan berkeluarga terlalu berat. Sehingga mereka memutuskan untuk membujang selama hidupnya.
Ternyata keputusan untuk membujang tersebut dilarang oleh agama. Bahkan Rasulullah secara tegas tidak mengizinkan umatnya untuk hidup sendiri tanpa pasangan. Apabila ada kaum muslim yang membenci hal tersebut, maka ia tidak termasuk ke dalam kaum Rasulullah SAW.
Ada di antara mereka yang tidak mau menikah disebabkan karena sakit atau rasa takut tidak mampu mencari nafkah untuk keluarganya kelak. Ada juga yang terlalu sibuk dengan ibadah dan menuntut ilmu serta membujang karena memang tidak memiliki keinginan untuk menikah.
Sebenarnya bagaimana ajaran Islam memandang perkara hidup membujang dan bagaimana hukumnya? Tenyata ada bahaya tersendiri bagi mereka yang memutuskan untuk membujang dan hidup sendiri seumur hidupnya. Apakah hukum dan bahayanya? Berikut informasi selengkapnya.
Ternyata Rasulullah pernah tidak memperbolehkan seorang lelaki untuk tabattul atau hidup membujang. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan ‘Utsman bin Mazh’un untuk tabattul (hidup membujang), kalau seandainya beliau mengizinkan tentu kami (akan bertabattul) meskipun (untuk mencapainya kami harus) melakukan pengebirian.” (HR. Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 1402).
Ada di antara para sahabat Rasulullah yang memiliki tekad untuk tidak menikah dan mereka ingin sibuk dalam urusan ibadah. Anas bin Malik berkata,
“Ada tiga orang yang pernah datang ke rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberitahu, tanggapan mereka seakan-akan menganggap apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa-biasa saja.
Mereka berkata, “Di mana kita dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dosa beliau yang lalu dan akan datang telah diampuni.”
Salah satu dari mereka lantas berkata, “Adapun saya, saya akan shalat malam selamanya.”
Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa terus menerus, tanpa ada hari untuk tidak puasa.”
Yang lain berkata pula, “Saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah selamanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Kaliankah yang berkata demikian dan demikian. Demi Allah, aku sendiri yang paling takut pada Allah dan paling bertakwa pada-Nya. Aku sendiri tetap puasa namun ada waktu untuk istirahat tidak berpuasa. Aku sendiri mengerjakan shalat malam dan ada waktu untuk tidur. Aku sendiri menikahi wanita. Siapa yang membenci ajaranku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401)
Yang dimaksud hadits ‘siapa yang membenci ajaranku …’ sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar,
“Siapa yang meninggalkan jalanku, lalu menempuh jalan selainku, maka tidak termasuk golonganku.” (Fathul Bari, 9: 105)
Dari hadist di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa menikah termasuk dalam ajaran Islam dan tidak boleh dibenci. Apabila ada kaum muslim yang membenci hal tersebut maka ia tidak termasuk ke dalam kaum Rasulullah SAW. Disebutkan kembali oleh Ibnu Hajar,
Ketika menjelaskan salah satu hadits dalam kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al Asqolani pada bahasan Nikah, Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan hafizhahullah menyebutkan, “Terlarang melakukan tabattul yaitu meninggalkan untuk menikah dikarenakan ingin menyibukkan diri untuk beribadah dan menuntut ilmu padahal mampu ketika itu. Larangan di sini bermakna tahrim (haram).” (Minhatul ‘Allam, 7: 182).
“Jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lurus dan memberikan banyak kelonggaran. Dalam ajaran beliau masih dibolehkan tidak puasa, supaya benar-benar kuat jalani puasa. Dalam Islam masih boleh tidur supaya kuat menjalani shalat malam. Dalam Islam diperbolehkan pula untuk menikah untuk mengekang syahwat, menjaga kesucian diri dan memperbanyak keturunan.” (Fathul Bari, 9: 105)
Demikianlah informasi mengenai hukum dan bahaya lama hidup membujang. Oleh karena itu, apabila sudah merasa mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sebab pernikahan selain bernilai pahala juga bisa menghindarkan manusia dari dosa dan maksiat.
Salah satu pertanyaan “kritis” yang diajukan oleh misionaris adalah “Mengapa babi diciptakan jika ia haram? Untuk apa diciptakan jika tidak ada kemanfaatannya?”
Al Quran dengan tegas menyatakan haramnya daging babi. Bahkan, pengharaman babi disebutkan empat kali. Yakni di Surat Al Baqarah ayat 173, Surat Al Maidah ayat 3, surat Al An’am ayat 145 dan surat An Nahl ayat 115.
Belakangan, ditemukan 10 fakta ilmiah yang menjelaskan hikmah diharamkannya babi, yaitu:
1. Daging babi rumahnya cacing pita.
Mengonsumsi daging babi memiliki risiko terkena infeksi cacing pita (sistiserkosis). Karena daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan cacing trachenea lolipia yang bisa berpindah ke tubuh manusia yang mengkonsumsinya.
2. Kantung urine babi sering bocor.
Prof. A.V. Nalbandov menyebutkan bahwa kantung urine (vesica urinaria) babi sering bocor, sehingga urine-nya merembes ke dalam daging.
3. Babi tidak memiliki leher.
Secara fisiologis, babi tidak mendukung untuk disembelih. Sebabnya, babi tidak memiliki leher. Sedangkan Islam mensyariatkan penyembelihan binatang pada lehernya.
4. Babi hewan paling rakus.
Babi melahap makanan apa pun yang ada di depannya. Ia merupakan hewan paling rakus di dunia. Bahkan jika makanannya telah habi, ia memuntahkan makanan dalam perutnya dan memakannya kembali demi memuaskan kerakusannya.
5. Babi hewan paling jorok.
Jika di depan babi ada sampah, ia akan makan sampah tersebut. Bahkan babi juga melahap kotoran. Hingga kotorannya sendiri pun dilahapnya.
6. Babi menampung banyak bibit penyakit.
Selain mengandung cacing pita (Taenia solium), babi juga mengandung cacing spiral (Trichinella spiralis), cacing tambang (Ancylostoma duodenale), cacing paru (Paragonimus pulmonaris), hingga bakteri kolera (Salmonella choleraesuis) dan virus kudis (Scabies).
7. DNA babi mirip manusia.
Ditemukannya fakta DNA babi paling mirip dengan manusia, mengkonsumsi babi dapat dengan mudah menularkan perilaku buruk babi kepada manusia. Selain rakus, perilaku babi yang pernah diobservasi oleh Muhammad Abduh adalah tidak memiliki cemburu. Ketika dua ekor babi jantan dan seekor babi betina dimasukkan kandang, dua babi jantan itu tidak saling berebut tetapi justru saling membantu untuk mengawini babi betina.
8. Daging babi sulit dicerna manusia.
Meskipun empuk, ternyata daging babi sulit dicerna oleh pencernaan manusia. Ini karena daging babi mengandung lemak berbahaya.
9. Babi merupakan carrier virus Flu Babi.
Di dalam tubuh babi, virus AI yang semula tidak ganas bermutasi menjadi H1N1/H5N1 yang ganas dan menular kepada manusia.
10. Daging babi penyebab utama kanker anus dan kolon.
Prosentase penderita kanker anus dan kolon meningkat drastis di negara-negara yang penduduknya memakan babi, terutama di negara-negara Eropa, Amerika, Cina dan India. Sedangkan di negara-negara Muslim, prosentasenya sangat rendah.
Misionaris yang bertanya seperti itu, pun dengan pengikut-pengikutnya yang mengkonsumsi babi, seharusnya juga tahu bahwa babi juga haram dalam Injil. Dr Zakir Naik menjelaskan, larangan makan babi tercantum dalam kitab Imamat 11:7-8, kitab Ulangan 14:8 dan kitab Yesaya 65:2-5.
Jadi jika diharamkan untuk apa babi diciptakan? Di antara hikmah penciptaan babi adalah:
1. Untuk menguji manusia
Babi yang diharamkan sebenarnya merupakan ujian untuk manusia seberapa dia patuh kepada Sang Pencipta. Manusia yang memakannya, maka ia tidak lulus dalam ujian itu. Manusia yang berpegang teguh pada larangan Allah dengan tidak memakannya, maka ia lulus dalam ujian itu.
“Dialah (Allah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2)
2. Sarana meneguhkan manusia sebagai khalifatullah
Manusia adalah khalifatullah fil ardh yang bertugas memakmurkan bumi. Banyak hewan yang dikira tidak memiliki manfaat ternyata membuat manusia menjadi kreatif dan berdaya. Termasuk babi. Dengan adanya babi, manusia bisa mengetahui tentang berbagai (bibit) penyakit yang dibawa binatang itu dan tertantang untuk meneliti obatnya.
Seperti diketahui, babi mengandung cacing pita bahkan merupakan carier virus flu babi (swine influenza).
3. Sebagai pelajaran agar tidak menjadi sepertinya
Babi dikenal sebagai binatang yang malas, jorok dan rakus. Begitu joroknya babi, ia sampai memakan kotorannya sendiri. Bahkan, makanan yang akan ia makan kadang-kadang dikencingi dulu sebelum dilahap.
Rakusnya babi bisa dilihat dari makanan apapun yang ada di depannya akan dilahap. Sampah dan kotoran pun dilahap. Bahkan demi memuaskan kerakusannya, makanan yang telah memenuhi perutnya dimuntahkan kemudian dimakannya kembali.
Adanya babi selayaknya mengingatkan manusia agar tidak malas, tidak jorok dan tidak rakus.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan babi sebagai perlambang keburukan. Bahkan, ada kaum terdahulu yang dikutuk menjadi babi karena perbuatan buruknya.
Katakanlah (Muhammad), “Apakah aku akan beritakan kepadamu tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut.” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Maidah: 60)
Allah telah menyatakan dengan jelas di dalam Al-Quran bahawa DIA tidak akan sekali-kali menguji hambaNya diluar kemampuan hambaNya. Allah mengetahui kita kuat dalam menghadapi ujianNya, oleh kerana itu Allah memberikan ujian itu kepada diri kita. Di sini kita dapat melihat betapa sayang dan kasihnya Allah kepada kita sebagai hambaNya.
Allah menguji seseorang bukan kerana Allah benci kepada kita tetapi percayalah Allah menguji kita karena DIA sangat kasih kepada kita. Cuma kita sebagai hambaNya, adakalanya tidak mampu bertahan dan bersabar dalam menghadapi ujianNya.
Hakikatnya saat ini, saat kita sedang mengecap bahagia, ada berjuta manusia di luar sana yang sedang dihujani ujian atau dihimpit pelbagai derita. Ada di kalangan manusia di luar sana yang saat ini sedang diuji dengan kehilangan orang tersayang. Tidak kurang juga ada manusia yang diuji apabila apa yang diingini dan diharapkan tidak terjadi dan diberi. “ Kenapa aku yang diuji ? “ “ Mengapa aku diuji seperti ini ?” “ Ujian ini sangat berat. Aku tak mampu…” Mungkin ini adalah antara persoalan dan keluhan yang meniti di bibir atau berlegar di fikiran kita sebagai seorang hamba saat dihimpit dengan sebuah ujian. Kadangkala tanpa sadar dan niat kita juga terlanjur marah pada DIA kerana menghujani kita dengan pelbagai ujian.
Tetapi, apabila kita menenangkan diri dan bermuhasabah kembali, tenyata sebenarnya dengan ujian yang diberi kita adalah hamba yang beruntung. Mengapa saya katakan begitu? Karena ujian hanyalah diberi oleh Allah kepada hamba-hambanya yang terpilih. Hamba-hambanya yang dikasihi dan disayangiNya.
Sebagai manusia biasa, kita pastinya tidak akan mampu menyangka kapankah ujian itu akan datang. Walau bagaimanapun, jika kita mengetahuinya, apalah kodrat kita sebagai seorang hamba yang kerdil dan penuh dosa untuk menolak ujian-ujian yang bakal menyapa itu.
Jika direnungkan kembali, kita semua pastinya pernah dan akan ditimpa ujian dari yang Maha Esa, tetapi saat ujian itu tiba, mampukah kita menjadi manusia yang bersyukur dengan ujian itu dan memandangnya sebagai hadiah pemberian Allah?
“Seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”
Permisalan sedekah dengan tangan kanan dan kiri adalah ungkapan dalam hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai sebagai permisalan karena kedekatan dan kebersamaan kedua tangan tersebut.
Contoh yang mempraktekkan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali. Beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliaupun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi.
“Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.”
Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari.